Jumat, 24 Januari 2014

Film Topeng Monyet Indonesia Diputar Perdana Di Belanda



Film Indonesia yang berjudul The Evolution of Darwin’s Theory: Masked Monkey garapan sineas Ismail Fahmi Lubish akan di putar perdana hari ini (24/1) di Rotterdam, Belanda. Sebuah kebanggaan bagi dunia perfilman Indonesia, hasil karya sineas muda kita bisa putar dalam agenda rutin tahunan, International Film Festival Rotterdam 2014. Film ini di putar perdana di dunia, bahkan di Indonesia belum ada pemutaran perdananya. 


Film ini berkisah tentang monyet-monyet yang dieksploitasi untuk menghasilkan pundi rupiah melalui atraksi topeng monyet. Monyet-monyet ini pun kerap ditempa dan disiksa oleh pemiliknya agar dapat menampilkan hiburan yang memukau. Film semi dokumenter ini mengambil latar tempat di Jakarta, yang masih ada hiburan topeng monyet. Ada banyak pelajaran berharga melalui film ini, diantaranya adalah mengetuk kita sebagai makhluk hidup untuk turut serta menjaga kelangsungan hidup makhluk lain tanpa mengatasnamakan “bisnis”.

 salah satu adegan saat akan memulai atraksi topeng monyet


monyet sering dieksploitasi demi kebutuhan hidup manusia

 
Film produksi FourColours Films Jogjakarta ini akan diputar sebanyak empat kali selama festival berlangsung. Tayangan perdana pada hari ini, Jumat, (24/1) di venue LantarenVenster5, kemudian besok Sabtu (25/1) di venue  Cinerama2, tanggal 29 dan 30 Januari di venue LantarenVenster6 dan Cinerama2.
Selain film ini, ada satu lagi film karya anak negeri yang di putar di festival Rotterdam 2014 kali ini. Film tersebut hasil karya dari Paul Agusta berjudul Chaotic Memories (Karya Terpilih 2010 – 2013).

Kamis, 23 Januari 2014

Kaos Soeharto Diminati Masyarakat Jogja

Siapa sangka sosok presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali hadir di tengah-tengah masyarakat. Sosoknya hadir dalam desain kaos yang dijual disepanjang pertokoan Malioboro. Kaos ini terbilang unik, karena dibubuhi kalimat berbahasa Jawa yang memberi kesan "menyentil" pemerintahan saat ini. Kalimat apa itu??
Liputan selengkapnya bisa anda lihat dilink video dibawah ini:

Kamis, 31 Oktober 2013

Mbah Google : ‘Lebih Cerdas’ Daripada Dewa Prometheus dan Albert Einstein



Menurut mitologi Yunani Kuno, Dewa Prometheus adalah dewa yang paling cerdas dan cerdik diantara para dewa. Selain itu, dia di karuniai kekuatan untuk melihat masa depan sehingga berhasil menyelamatkan keturunannya dari banjir besar kiriman dewa Zeus.

Albert Einstein, juga salah satu makhluk cerdas abad 20 di dunia ini, dia adalah ilmuwan terkenal yang menemukan teori relativitas. Kecerdasannya di ukur melalui IQ Test mendapat skor 160 (namun pertengahan Oktober, rekor itu dipecahkan oleh gadis 17 tahun asal Inggris bernama Lauren Marbe yang IQ nya mencapai 161, lebih 1 angka daripada Einstein dan Stephen Hawking : merdeka.com).

 Lalu siapa mbah Google?
(dalam bahasa Jawa, mbah adalah sebutan untuk orang tua yang sudah sepuh/tua. Orang sepuh identik dengan bijaksana dan serba tahu karena sudah lama bermukim di dunia ini).

Ya...tentunya dia bukan makhluk cerdas ciptaan Tuhan, tapi dia buatan manusia. Google adalah mesin pencari hasil penemuan abad 20. Apapun informasi yang kita butuhkan mulai dari ilmu sejarah, fisika, anatomi, biologi bahkan cabang ilmu yang lain, bisa kita temukan di Google.

Saya juga tidak luput dari ‘penggemar’ Google. Setiap saya membutuhkan informasi secara cepat, saya langsung mencarinya di Google. Informasi yang sering saya cari biasanya tentang bahan/materi untuk referensi tugas kuliah, tiket promo airline, tempat wisata menarik, gambar perkembangan fashion masa kini dan masih banyak lagi.

Ada pengalaman unik yang pernah saya alami ketika mencari informasi di Google.
Suatu hari, timbul rasa ingin tahu yang tiba-tiba hinggap dalam kepala saya. Saya ingin tahu berapa jumlah orang yang memiliki nama seperti saya yaitu ARVINDA atau VINDA di dunia ini. Kemudian saya iseng-iseng mencarinya lewat Google (picture), langsung saja saya ketik di kotak pencarian dengan nama saya yaitu ‘ARVINDA’ dan...1...2...3.....muncul merk berbagai macam jenis bumbu asal India yang juga bermerk ARVINDA (cukup mengejutkan). 

 Lalu pencarian saya tidak berhenti sampai disitu, saya mengetik lagi VINDA (yang merupakan nama panggilan saya) dan....dag dig dug der.....muncullah sebuah produk tisu gulung/tisu toilet yang merknya juga sama dengan nama panggilan saya yaitu VINDA. Sontak saya terkejut dan tertawa melihat produk-produk tersebut memakai memiliki kesamaan dengan nama saya. Jujur saja, produk kedua cukup membuat saya shock dan cerita ini kemudian saya bagi ke jejaring sosial. Berbagai pendapat dan komentar pun bersahutan sebagai bahan lelucon.


Saya sering menggunakan Google karena sudah terbiasa dari dulu dan sudah tertanam dalam benak saya bahwa mesin pencari adalah Google. Meskipun dalam kenyataannya, Google bukan satu-satunya mesin pencari, masih ada Yahoo!, Altavista, Live, Ask, dan masih banyak lagi. Selain itu, Google selalu berada di tampilan depan begitu kita membuka web browser ketika di warnet. Maka dari itu, saya memiliki kebiasaan yang melekat cukup kuat bahwa ketika saya butuh informasi apapun (yang bahkan Dewa Prometheuss atau Einstein pun tidak tahu) saya akan “bertanya” pada Google.

Mungkin ketika saya bertanya langsung pada Dewa Prometheus atau Einstein : Berapa kurs US Dollar terhadap Rupiah sekarang??? Mereka akan menjawab tidak tahu, namun kalau saya bertanya pada Google, clinggg..........seketika pula Google akan menjawab pertanyaan saya.

Dulu Lamban Sekarang Cepat : Perubahan Media Komunikasi Dari Masa ke Masa



Dulu waktu usia saya 5 tahun (sekitar tahun 1997), saya dibiasakan oleh keluarga untuk menulis surat untuk kakak perempuan saya yang memang menetap di luar negeri. Pada jaman itu, komunikasi yang bisa kami jalin hanyalah melalui surat, terkadang menggunakan fax (jika ada pesan penting dan darurat, itu pun kami harus pergi ke daerah Malioboro untuk menuju Wartel khusus yang melayani faksimail dan harus membayar cukup mahal karena tujuan internasional). Lagi pula, telepon rumah bahkan handphone masih dinilai barang mewah dan hanya orang-orang tertentu saja yang mampu memilikinya. Untuk menekan biaya, maka keluarga saya memutuskan untuk rutin menulis surat agar komunikasi kami tetap terjalin intens meskipun terpisah jarak beribu-ribu mil jauhnya.

Foto kakak saya waktu di danau daerah Zurich

Ketika saya selesai menulis surat dan siap untuk dikirim, kakak laki-laki saya selalu mengajak saya untuk ikut ke kantor pos mengirim surat tersebut. Dulu biaya pengiriman untuk tujuan internasional sangat mahal karena tergantung negara tujuan (kebetulan kakak saya menetap di Zurich, Swiss). Biaya pengiriman tersebut berdasarkan berat isi surat, alias, berdasar hitungan seberapa tebal dan seberapa banyak kertas yang digunakan. Pernah pada waktu itu kami harus merogoh kantong sebesar Rp 50.000,- (sekitar tahun 1998, nominal ini sangat besar jumlahnya) hanya untuk mengirim surat, kebetulan kertas yang dipakai 5 lembar karena ada beberapa informasi yang harus dirinci. Tapi jangan harap surat itu akan sampai ke alamat tujuan 1 atau 2 hari, kita harus bersabar dulu karena harus menunggu paling tidak 1 minggu surat sampai ke tujuan.
Seiring perkembangan teknologi komunikasi, kami mulai beralih ke telepon, itu pun kami tidak berani mengobrol lama-lama karena takut tagihan akan membengkak. Kemudian beralih ke handphone, tetapi hanya untuk pesan singkat/SMS, karena kalau telepon memakai HP biayanya jauh lebih mahal daripada telepon rumah. Selanjutnya kami juga menggunakan email, karena cepat sampai dan tidak terbatas seberapa banyak tulisannya.

Tampilan Skype

Nah, mulai sekitar tahun 2010-an, komunikasi kami menjadi lebih mudah karena kami bisa ‘langsung’ bertatap muka dan mengobrol. Komunikasi ini diperantai oleh media baru ‘Skype’, dimana media ini hanya menggantungkan jaringan internet melalui modem/wifi yang tidak terlalu mahal.

Pengalaman saya ini kemudian menjadi bahan refleksi bagi diri saya sendiri. Dari tahun ke tahun meskipun lamban di era pra-reformasi, media komunikasi secara nasional mengalami perubahan yang sangat signifikan. Secara sederhana, dulu orang menggunakan media kentongan, burung merpati, kemudian surat untuk melakukan interaksi dengan orang lain yang terpisah jarak. Semakin maju ke generasi berikutnya, orang bisa berinteraksi melalui telepon dan handphone, kemudian email, jejaring sosial, dan skype.
Tentunya peralihan era kentongan ke era surat kemudian era telepon dan melejit ke era internet tidak terjadi secara cepat atau tiba-tiba. Khususnya bagi negara Indonesia, perubahan media/alat komunikasi dari generasi ke generasi melalui tahapan evolusi. Evolusi yang terjadi karena pada dasarnya Indonesia tidak cukup memiliki mindset invention untuk alat-alat komunikasi. Kita hanya mampu sebagai pihak kedua alias konsumen dari negara-negara barat yang selalu ‘bergairah’ dalam penemuan alat teknologi.
Meskipun begitu, kita merasa terbantu untuk melakukan interaksi dengan orang lain yang berada di lain tempat. Sekarang kita semakin dipermudah untuk menghubungi sanak saudara dan kerabat yang jauh dengan menggunakan media baru seperti email, jejaring sosial dan skype. Tentunya proses nya lebih cepat dibanding dengan surat dan SMS.
Di abad 20-an seperti sekarang ini, masyarakat dunia bisa saling berkomunikasi tanpa batas ruang dan waktu, bagaimanakah perubahan media komunikasi di abad selanjutnya??? Jangan-jangan saya dan anda bisa bersalaman secara langsung meskipun saya berada di rumah dan anda berada di Amerika, misalnya. Mungkin impossible kedengarannya, eiitttsss.....tapi jangan remehkan imajinasi saya. Karena nenek moyang saya dan anda juga bahkan tidak pernah membayangkan bahwa jaman sekarang orang bisa bercakap-cakap langsung lewat komputer.